Berdasarkan pengertian ahli Wibowo, dalam Walija. 1996
“Bahasa Indonesia dalam Perbincangan” bahasa adalah komunikasi yang paling
lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat
kepada orang lain. Tentu saja bahasa merupakan alat yang penting dalam
berkomunikasi. Bayangkan saja bagaimana sulitnya berkomunkasi bila tidak ada
bahasa. Di dunia ini bahasa sangat beragam, hampir setiap wilayah mempunyai
bahasa yang berbeda. Meskipun diantaranya terdapat bahasa yang sama.
Beruntunglah Indonesia yang mempunyai banyak bahasa. Dari mulai bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia sampai dengan bahasa daerah yang
bermacam-macam.
Tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari masyarakat Indonesia
sudah mulai meninggalkan bahasa daerahnya bahkan bahasa Indonesia sendiri.
Mereka terlihat seperti bangga menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul
(sebutan untuk bahasa anak muda zaman sekarang). Oleh sebab itu, saya akan
membahas sejarah, fungsi, dan kedudukan Bahasa Indonesia agar bangsa Indonesia
sadar akan bahasanya sendiri sebelum bahasa Indonesia hilang tertelan zaman.
Selain itu, bangsa Indonesia ini bisa lebih menghargai bahasa persatuan
sehingga mereka dapat merasakan bangga akan bahasa Indonesia.
A.
Sejarah
Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik
Indonesia, keputusan ini tertulis pada pasal 36 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945. Selain itu, bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa sumpah pemuda yang terjadi
pada 28 oktober 1928. Yang menghasilkan sebuah sumpah para pemuda Indonesia.
Pada butir ketiga berbunyi “Kami poetra dan poetri indonesia mengjoenjoeng
bahasa persatoean, bahasa indonesia”. Itulah sebabnya mengapa bahasa Indonesia
menjadi bahasa resmi dan bahasa persatuan Repbulik Indonesia.
Bahasa
Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di
Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja. Dari sudut
pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa
Melayu.
Dasar
yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari
abad ke-19. Telah dikemukakan pada beberapa kesempatan, mengapa bahasa melayu
dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara Indonesia yang merupakan suatu hal
yang menggembirakan. Dibandingkan dengan bahasa lain yang dapat dicalonkan
menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa jawa (yang menjadi bahasa ibu bagisekitar
setengah penduduk Indonesia), bahasa melayu merupakan bahasa yang kurang
berarti. Di Indonesia, bahasa itu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk
kepulauan Riau, Linggau dan penduduk pantai-pantai diseberang Sumatera. Namun
justru karena pertimbangan itu jugalah pemilihan bahasa jawa akan selalu
dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.
Alasan
kedua, mengapa bahasa melayu lebih diterima dari pada bahasa jawa, tidak hanya
secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara reksikal. Sebagaimana kita
ketahui, bahasa jawa mempunyai beribu-ribu morfen leksikal dan bahkan beberapa
yang bersifat gramatikal.
Faktor
yang paling penting adalah juga kenyataannya bahwa bahasa melayu mempunyai
sejarah yang panjang sebagai ligua France.
Dari sumber-sumber China kuno dan kemudian juga dari sumber Persia dan Arab,
kita ketahui bahwa kerajaan Sriwijaya di Sumatera Timur paling tidak sejak abad
ke-7 merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha serta sebuah negara
yang maju yang perdagangannya didasarkan pada perdagangan antara Cina, India
dan pulau-pulau di Asia Tenggara. Bahasa melayu mulai digunakan di kawasan Asia
Tenggara sejak Abad ke-7. Bukti-bukti
yang menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti di kedukan Bukit Karangka
tahun 683 M (Palembang), Talang tuwo tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur tahun 686 M (Bukit Barat), Karang Birahi tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu
bertuliskan huruf pranagari berbahasa melayu kuno. Bahasa melayu kuno itu hanya
dipakai pada zaman kerajaan Sriwijaya
saja karena di Jawa Tengah (Banda Suli) juga ditemuka prasasti tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti tahun 942 M yang juga
menggunakan bahasa melayu kuno.
Pada
zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku pelajaran agama Budha dan juga sebagai bahasa perhubungan antar suku di
nusantara. Selain itu, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan.
Informasi dari seorang ahli sejara China I-Tsing yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama
Koen Loen (I-Tsing : 63-159), Kou Luen (I-Tsing : 183), K’ouen loven (Ferrand,
1919), Kw’enlun (Ali Syahbana, 1971 : 0001089), Kun’lun (parnikel, 1977 : 91),
K’un-lun (prentice 1978 : 19), yang berdampingan dengan sanskerta.
Yang
dimaksud dengan Koen-Luen adalah bahasa perhubungan (lingua france) dikepulauan nusantara, yaitu bahasa melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelas dari
peninggalan-peninggalan kerajaan islam. Peniggalan tersebut berupa batu
bertulis. Contohnya adalah batu nisan di Minye Tujah, Aceh tahun 1380 M. Selain
itu, hasil-hasil pada abad ke-16 dan ke-17 seperti syair Hamzah Fansuri,
hikayat raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin.
Bahasa melayu menyebar kepelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama
islam di wilayah nusantara bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat
nusantara sebagai bahasa perhubungan antara pulau, suku, pedagang, bangsa, dan
kerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal tutur. Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu
administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda
para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu
Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda
mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan
di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu.
Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara
perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada
awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai
terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904
Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van
Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) Van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi
Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi
pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie
voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun
1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di
bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk
perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik
pemerintah.
Perkembangan
program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700
perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika
mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.
Peristiwa
Penting
·
Tahun 1908
pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor
de Volkslectuur (Taman
Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel,
seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku
penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit
membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
·
Tanggal 16
Juni 1927 Jahja Datoek
Kajo menggunakan bahasa
Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
·
Tanggal 28
Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan
agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
·
Tahun 1933
berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
·
Tahun 1936
Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 25-28
Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
·
Tanggal 18
Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 19
Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai
pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
·
Tanggal 28
Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II
di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia
untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 16
Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di
hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun
1972.
·
Tanggal 31
Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
·
Tanggal 28
Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang
ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia.
·
Tanggal 21-26
November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres
ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
·
Tanggal 28
Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia
dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya
karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di
Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 28
Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta
tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong,
India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres
mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang
Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 26-30
Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan
Pertimbangan Bahasa.
Peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi perkermbangan
bahasa Indonesia
1. Budi Otomo.
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang merupakan organisasi
yang bersifat kenasionalan yang pertama berdiri dan tempat terhidupnya kaum
terpelajar bangsa Indonesia, dengan sadar menuntut agar syarat-syarat untuk
masuk ke sekolah Belanda diperingan,. Pada kesempatan permulaan abad ke-20,
bangsa Indonesia asyik dimabuk tuntutan dan keinginan akan penguasaan bahasa
Belanda sebab bahasa Belanda merupakan syarat utam untuk melanjutkan pelajaran
menambang ilmu pengetahuan barat.
2. Sarikat Islam.
Sarekat islam berdiri pada tahun 1912. mula-mula partai
ini hanya bergerak dibidang perdagangan, namun bergerak dibidang sosial dan
politik jga. Sejak berdirinya, sarekat islam yang bersifat non kooperatif
dengan pemerintah Belanda dibidang politik tidak perna mempergunakan bahasa Belanda.
Bahasa yang mereka pergunakan ialah bahasa Indonesia.
3.
Balai
Pustaka.
Dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazue pada tahu 1908 balai
pustaku ini didirikan. Mulanya badan ini bernama Commissie Voor De
Volkslectuur, pada tahun 1917 namanya berubah menjadi balai pustaka. Selain
menerbitkan buku-buku, balai pustaka juga menerbitkan majalah.
Hasil
yang diperoleh dengan didirikannya balai pustaka terhadap perkembangan bahasa
melau menjadi bahasa Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut :
·
Memberikan
kesempatan kepada pengarang-pengarang bangsa Indonesia untuk menulis cerita
ciptanya dalam bahasa melayu.
·
Memberikan
kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membaca hasil ciptaan bangsanya
sendiri dalam bahasa melayu.
·
Menciptakan
hubungan antara sastrawan dengan masyarakat sebab melalui karangannya sastrawan
melukiskan hal-hal yang dialami oleh bangsanya dan hal-hal yang menjadi
cita-cita bangsanya.
·
Balai pustaka
juga memperkaya dan memperbaiki bahasa melayu sebab diantara syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh karangan yang akan diterbitkan di balai pustaka ialah
tulisan dalam bahasa melayu yang bersusun baik dan terpelihara.
4. Sumpah Pemuda.
Kongres pemuda yang paling dikenal ialah kongres pemuda
yang diselenggarakan pada tahun 1928 di Jakarta. Pada hal sebelumnya, yaitu tahun
1926, telah pula diadakan kongres pemuda yang tepat penyelenggaraannya juga di
Jakarta. Berlangsung kongres ini tidak semata-mata bermakna bagi perkembangan
politik, melainkan juga bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Dari
segi politik, kongres pemuda yang pertama (1926) tidak akan bisa dipisahkan
dari perkembangan cita-cita atau benih-benih kebangkitan nasional yang dimulai
oleh berdirinya Budi Utomo, sarekat islam, dan Jon Sumatrenan Bond. Tujuan
utama diselenggarakannya kongres itu adalah untuk mempersatukan berbagai
organisasi kepemudaan pada waktu itu.
Pada
tahun itu organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah yang
lebih besar Indonesia muda. Pada tanggal 28 Oktober 1928 organisasi pemuda itu
mengadakan kongres pemuda di Jakarta yang menghasilkan sebuah pernyataan
bersejarah yang kemudian lebih dikenal sebagai sumpah pemuda. Pertanyaan
bersatu itu dituangkan berupa ikrar atas tiga hal, Negara, bangsa, dan bahasa
yang satu dalam ikrar sumpah pemuda.
Peristiwa ini dianggap sebagai awal permulaan bahasa Indonesia yang sebenarnya, bahasa Indonesia sebagai media dan sebagai symbol kemerdekaan bangsa. Pada waktu itu memang terdapat beberapa pihak yang peradaban modern. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa cita-cita itu sudah menjadi kenyataan. Bahasa Indonesia tidak hanya menjadi media kesatuan dan politik melainkan juga menjadi bahasa sastra Indonesia baru.
Pada
tahun 1928 bahasa melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun
tersebut para tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku dan kebudayaan
menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia, keputusan ini
dicetuskan melalui sumpah pemuda. Dan baru setelah kemerdekaan Indonesia
tepatnya pada tanggal 18 Agustus Bahasa
Indonesia diakui secara Yuridis.
Dalam
perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja
di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal
abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme
bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan
berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan
di Riau maupun Semenanjung Malaya.
Hingga
saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan
kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah
dan bahasa asing. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga
Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada
di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan mencampuradukkan dengan dialek
Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia
digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, media massa, sastra, perangkat
lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya sehingga dapat
dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
B.
Fungsi
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai :
1.
Lambang
kebangsaan
2.
Lambang
identitas nasional
3.
Alat
penghubung antarwarga, antardaerah dan antarbudaya
Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa
dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu
kesatuan kebangsaan yang bulat.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa
indonesia berfungsi sebagai :
1.
Bahasa resmi
kenegaraan
2.
Bahasa
pengantar di dalam dunia pendidikan
· Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
· Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi.
C.
Kedudukan
Bahasa
Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting yaitu :
1.
Sebagai
Bahasa Nasional.
Seperti yang tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah
Pemuda 1928 yang berbunyi Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ini berarti bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa Nasional yang kedudukannya berada diatas
bahasa-bahasa daerah.
2.
Sebagai
Bahasa Negara
Tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Bab XV Pasal 36) mengenasi kedudukan bahasa
Indonesia yang menyatakan bahawa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Oleh
: Prof. Dr. Mursai Esten, sumber: Forum Bahasa dan Sastra
Ahmadi
Muhsin, 1990. sejarah dan standarisasi bahasa Indonesia. Bandung
: sinar baru algesindo. Aripin Z.E,
Broto
A. S, “Pengajaran Bahasa Indonesia”, Bulan Bintang, Jakarta,
1978
Tasai,
S Amran dan E. Zaenal Arifin, “Cermat Berbahasa Indonesia : Untuk
Perguruan Tinggi”,Akademika Pressindo, Jakarta, 2000